Featured

BACKPACKERAN KE SURGA (JOGJA-LOMBOK)

by - Juli 20, 2017

Halo guys, kali ini saya akan membawakan pengalaman yang tak terlupakan bersama teman-teman saya. Saya melakukan perjalanan yang lumaya panjang untuk keseruan bersama.

Sebenarnya pada awal rencana, perjalanan ini tujuannya untuk perjalanan menuju Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Namun karena disebabkan keterbatasan (kepercayaan terhadap) dana yang dimilikki, kami hanya stuck di Lombok.

***

Perjalanan dimulai pada tanggal 2 Juli, di saat saya bersama Kicay menaiki kereta Gajahwong yang menuju Yogyakarta. Kereta tersebut adalah kereta pagi yang berangkat pukul 7 dan sampai pada pukul 3. Namun karena terjadi keterlambatan, kereta kami tiba pukul 4 sore.

Di Jogja, kami menumpang menginap di kontrakan teman-teman SMA saya yang baru saja selesai libur lebaran yang diberikan oleh kampus-kampusnya masing. Kami menumpang menginap di kontrakan tersebut dari tanggal 2 hingga tanggal 6 subuh.

Selama di Jogja, kami berjalan-jalan menuju berbagai tempat dengan menggunakan sepeda motor.

Tanggal 3 Juli, kami berjalan menuju arah timur. Kami mengunjungi daerah Prambanan yang sama sekali tidak menginjak ke Candi Prambanan dan Ratu Boko (sebab mahal). Tempat yang kami kunjungi adalah Tebing Breksi dan Candi Ijo di dataran tinggi Prambanan. Tebing Breksi dan Candi Ijo adalah tempat yang indah untuk menyaksikan senja.
Tebing Breksi sendiri adalah bekas penggalian batu-batuan breksi yang berubah menjadi tempat wisata oleh masyarakat setempat. Untuk masuk ke Tebing Breksi cukup bayar seikhlasnya dan parkir sekitar Rp.2000 saja. Tetapi berhati-hatilah, karena Tebing Breksi adalah tebing yang bisa dinaiki oleh tangga dan pagar keselamatan disana kurang. Watch your step, guys.

Candi Ijo terletak di tempat yang lebih atas daripada Tebing Breksi. Candi ini merupakan situs sejarah yang bercorak agama Hindu. Untuk masuk ke Candi Ijo ini hanya cukup membayar parkir saja. Perjalanan dari Tebing Breksi menuju Candi Ijo cukup menanjak terjal, sebab lokasinya berada pada perbukitan.

Kami menghabiskan waktu di Candi Ijo hingga azan maghrib berkumandang.


Pada keesokan harinya, kami bertemu dengan teman kuliah kami dari Solo bernama Sherwin. Kami bertiga berjalan menuju Bukit Paralayang yang berada di daerah Parangtritis dan berbatasan dengan Kabupaten Gunung Kidul. Perjalanan kami tempuh selama 1,5 jam menggunakan motor (kami dua motor kok, enggak triceng).

Untuk menuju menuju kesana, kamu perlu berjalan melalui Jalan Parangtritis, lurus saja tanpa belok. Setelah masuk ke gapura Pantai Parangtritis dan membayar Rp10.000 per-orang, ikuti saja jalannya hingga menuju perbukitan, bisa pakai Google Maps kok. Meskipun perjalanan kesana bisa dicek menggunakan Google Maps, Google Maps tidak menjelaskan seberapa terjalnya tanjakannya :). Kamu akan melalui tanjakan
yang lumayan, hingga mencapai tempat Bukit Paralayang.

Bukit Paralayang ini diresmikan sebagai tempat anak Indonesia untuk berlatih paralayang agar menunjukkan kesaktian Pancasila dalam menggapai langit (di dekat sana ada prasasti yang ditanda-tangani pemerintah.)

Nah, kami menghabiskan waktu kami hingga senja di Bukit Paralayang dengan menikmati pemandangan senja. Pemandangannya indah, kamu bisa melihat Pantai Parangtritis dari atas kejauhan. Terlihat di mata kami, manusia-manusia begitu kecil seperti semut sedangkan ombak di pesisirnya lumayan tinggi dan besar untuk seukuran semut.

Setelah itu, kami pulang menyusun tenaga. Sherwin memisahkan diri dari kami, karena memang dia bukan rombongan backpacker ini. Kami pulang sekitar jam 7 malam, telat setelah sunset dikarenakan ada permasalahan saat pulang dari bukit Paralayang.
***
Setelah kami berleha-leha menyusun tenaga kami sehari di kontrakan teman, karena sebelumnya kami jalan-jalan keliling Jogja, kami melanjutkan perjalanan misi kami untuk menuju Lombok. Perjalanan kami menggunakan kereta Sri Tanjung yang hanya berharga Rp94.000 dari Lempuyangan menuju Banyuwangi Baru. Setelah itu, kami berjalan kaki sekitar 500an meter ke Pelabuhan Ketapang untuk menaiki kapal Feri menuju Gilimanuk, Bali, dengan harga Rp6.500 saja.

Sesampainya kami di Gilimanuk, kami menaiki bus seharga Rp.50.000 menuju Terminal Ubung, Denpasar, untuk mengujungi teman-teman lainnya agar memantapkan perjalanan yang berada di Sesetan, Denpasar.

Nah, mereka adalah Jimmy, Kevin, Tahrel, Enca, Lele, Carol. Jadilah kami berdelapan bersama Kicay.

Setelah kami menghabiskan waktu semalam di Denpasar (Oh ya, tempat persinggahan kami adalah kost-kostan saudara Kevin di Sesetan). Berangkatlah kami menuju pelabuhan Padangbai pada subuh hari menggunakan angkot yang kami sewa seharga Rp320.000 (per-orang bayar Rp40.000). Sebenarnya jika kamu tidak singgah ke Denpasar, bus yang sebelumnya saya dan Kicay tumpangi seharga Rp60.000 jika langsung ke Padangbai.
Setelah tiba di Padangbai (dan menghabiskan nasi Jinggo dan membungkuskan sisanya), kami menaiki kapal Feri dari Pelabuhan Padangbai menuju Pelabuhan Lembar seharga Rp44.000 per-orang. Durasi berlayarnya kapal Feri ini sekitar 5 jam perjalanan.


Syukurnya, kami bertemu sunrise di laut dan ke dek lantai 3 dari kapal Feri yang sangat sepi disebabkan kebanyakan penumpang memilih tertidur di kabin kapal. Sungguh pemandangan yang menakjubkan.

Sesampainya kami di Pelabuhan Lembar, pemandangan sekitar Pelabuhan Lembar juga tidak kalah menariknya. Pelabuhan Lembar berposisi di antara pulau-pulau kecil sehingga lokasinya yang strategis untuk melihat pemandangan-pemandangan sekitar dengan kapal-kapal Feri yang akan berlabuh atau sedang berlayar.
 Beruntungnya kami karena memiliki koneksi teman-teman kuliah, kami dijemput oleh teman kuliah kami bernama Refinta bersama keluarganya dengan 2 mobil. Mobil yang satu lagi digunakan kami untuk menumpang dan berjalan-jalan keliling Lombok dengan disupiri mas Angga yang ternyata adalah rekan dari ayahnya Refinta. Mobil yang dipakai Refinta dan keluarganya digunakan untuk membawa barang-barang kami menuju rumah keluarga Refinta di Mataram.

Bersama mas Angga, sedari pelabuhan Lembar kami langsung menuju Pantai Kuta, Lombok. Pantai ini bagus dengan karang-karang yang ada. Tidak kalah dengan Kuta yang ada di Bali, Kuta Lombok juga dikunjungi banyak wisatawan dari dalam dan luar negeri.

Pada saat kami berkunjung ke Pantai Kuta, tempat ini masih diperindah oleh pemerintah setempat. Sehingga kami perlu berhati-hati untuk memasukinya, takut mengganggu.
Ciri khas dari pantai Kuta ini adalah karang-karangnya dan pemandangan sekitar yang dipenuhi bukit yang menjulang. Tempat yang cozy untuk bersantai dan menghabiskan waktu jika penat dari kesibukan kuliah, kantor dan kegiatan lainnya (terutama jika dari Jakarta.)

Sebelum menganggap pantai Kuta adalah tempat yang cozy, Keesokan harinya kami ke tempat yang paling cozy di Pulau Lombok. Tempat ini adalah pengganti kekecewaan saya yang ingin sekali ke Pulau Padar di NTT. Bagi saya, tempat ini adalah hampir menyerupai salah satu spot Pulau Padar yang ada di internet. Nama tempat ini adalah Bukit Merese.


Bukit Merese bersebelahan langsung dengan Pantai Tanjung Aan. Bukit Merese adalah bukit-bukit yang menjorok di ke laut. Saya terhibur di sini dan mulai merasakan ketenangan bersama teman-teman.
Setelah dari Bukit Merese, kami turun dari bukit menuju pesisir yang ada di bawahnya. Di sana, kami menaiki perahu menuju Tanjung Aan. Sayangnya, cuaca gerimis dan gelombang begitu tinggi saat kami berlayar untuk menyebrang. Gerimis terus menyerang kami sehingga saya dan Kicay tidak berani mengeluarkan kamera. Saya hanya sebentar saja mengeluarkan kamera saat di perahu untuk merekam.



Sepulang dari itu, kami kembali ke tempat Refinta untuk menikmati jagung bakar di Senggigi. Lalu, kami kembali pulang dan beristirahat untuk perjalanan berikutnya.

Keesokan harinya, kami berangkat menuju Gili Trawangan. Perjalanan dari Mataram ke Dermaga Bangsal melewati perbukitan dan melewati Senggigi juga. Ini adalah saatnya kami berpisah dari Refinta, keluarganya dan mas Angga yang telah mengantar kami kemana-mana.

Dari Dermaga Bangsal untuk menaiki perahu menuju Gili Trawangan harganya Rp15.000 per-orang. Dengan harga sekian, kami bisa menikmati 15 menit perjalanan menuju Gili Trawangan.

Kami menemukan penginapan murah seharga Rp200.000 per-kamar. fasilitasnya lumayan bagus dengan ada mini-bar (meskipun kami nantinya tidak ke bar ini) dan kolam renang. Lokasi penginapan ini beberapa meter saja dari masjid dan warung makan lokal murah meriah. Perlu diketahui, harga-harga penginapan lainnya di Gili Trawangan sangatlah mahal, begitu juga makanan-makanannya karena daerah wisata dan banyak turis.

Selama di Gili Trawangan, kami menginap selama 3 hari 2 malam. Disini pun tidak ada kendaraan bermotor, semua dipenuhi dengan sepeda kayuh maupun sepeda listrik yang disewakan. Tidak hanya sepeda saja, Gili Trawangan juga memiliki delman yang berfungsi sebagai kendaraan umum.


Penjaga penginapan kami menyediakan paket snorkling murah yang tidak termasuk dengan makan siang. Snorkling kami seharga Rp90.000 per-orang. Spot-spotnya juga banyak untuk ditelusuri. Seperti di habitat kura-kura di Gili Meno, lalu di lepas pantai Gili Air. Pemandangan bawah air penuh dengan karang-karang yang memanjakan mata dan ikan-ikan yang berenang dengan indahnya.

Setiap spot kami diberi jatah 30 menit untuk snorkling, dan beristirahat di Gili Air selama 1jam. Setelah kegiatan trip snorkling selesai, kami kembali ke Gili Trawangan saat hari sudah sore.

Saat senja tiba, kami biasanya menuju Sunset Bar yang berada di bagian lain Gili Trawangan untuk menyaksikan matahari terbenam perlahan. Ciri khas dari tempat ini adalah ayunannya yang ada bendera merah putih.

Di Sunset Bar begitu tenang, biasanya Vodka, Radler dan Arak Bali yang kami bawa dari Bali adalah teman ketenangan kami.

Ketika malam tiba, kami menuju hiburan malam yaitu Jiggy Bar. Smirnoff di Jiggy Bar satu slokinya adalah Rp10.000. Di tempat ini, kami berpesta dan berdansa bersama turis dan wisatawan lainnya untuk merayakan ketenangan perjalanan kami. Jiggy Bar berada di tepi pantai Gili Trawangan yang bisa pesta di dalam bar maupun di luar bersama pasir pantai dan bulan.




Perjalanan dari Jogja hingga ke Lombok ini penuh dengan ketenangan, seperti kata Tahrel yang biasanya menganggap perjalanan ini adalah pencarian jati diri untuknya. Perjalanan backpackeran adalah perjalanan mengenal lingkungan sekitar dan mengenal teman perjuangan sendiri.

Kami berjalan dan menemukan surga dunia yang sangat mengasyikkan dan membuat kami enggan melupakan perjalanan kali ini. Saat kami akan meninggalkan Gili Trawangan untuk pulang menuju Bali dan Jakarta, rasanya pengalaman perjalanan ini terlalu indah bagi kami.

Saat tiba di Jakarta dan tidur lalu bangun lagi dikeesokan harinya, saya merenung. Seolah perjalanan yang saya lewati kemarin-kemarin selama berhari-hari adalah mimpi indah yang terjadi hanya semalam dan terbekas di kepala. Perjalanan berikutnya, akan saya lakukan lagi.

Terima kasih Tuhan, hidupku asik.

You May Also Like

0 komentar