Featured

SGRC UI, KOMUNITAS STUDI YANG DITUDUH SEBAGAI KLUB LGBT

by - Desember 10, 2017


Kalangan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) sempat digemparkan dengan beberapa media yang merilis berita dengan konotasi negatif dan proporsi yang tidak berimbang, terkait SGRC Indonesia. (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies). Tepatnya pada pertengahan tahun 2016, dengan judul seperti “LGBT Masuk Kampus” menuai kontroversi baik di kalangan masyarakat sekitar maupun anggota internal SGRC sendiri.

SGRC Indonesia merupakan organisisasi mahasiswa yang bergerak pada bidang kajian pemikiran. Kegiatan yang dilakukan, berupa diskusi dan seminar yang berupaya memberi pemahaman mengenai permasalahan gender dan seksualitas. Permasalahan yang dimaksud lebih sering dikenal dengan singkatan LGBTQ+ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, dan Queer). Hal tersebut mungkin terlalu sempit untuk menggambarkan seksualitas. Masih ada istilah-istilah lain yang masih asing di telinga masyarakat seperti interseksual, panseksual, demiseksual, dan sebagainya.

“Teman saya yang normal, yang enggak gay ada yang masuk SGRC kok. Anggotanya bukan pure LGBT semua.” Ungkap Bram, salah satu mahasiswa UI.

Permasalahan gender dan seksualitas juga tidak semata-mata berhenti pada ragam orientasi seksual, seksualitas mencakup kebutuham, reproduksi, penyakit menular seksual, dan lain-lain. Sedangkan permasalahan gender sendiri lebih mengacu pada bagaimana seorang individu mengidentifikasi dirinya. Semisal, orang yang terlahir secara biologis sebagai wanita dan menerima dirinya serta ciri khas tubuhnya sebagai seorang wanita pada umumnya disebut cisgender female. Ada pula yang menyebut dirinya sebagai agender (tidak memiliki gender), jika menemukan kolom untuk memilih jenis kelamin di halaman formulir di negara-negara seperti Amerika Serikat, mungkin kita akan menemukan pilihan lain selain wanita dan pria. Hal seperti itulah yang kerap menjadi pembahasan SGRC.

Terkait reproduksi, ketubuhan, dan penyakit menular seksual, SGRC tidak hanya membahas permasalahan tersebut dari sisi ragam orientasi seksual minoritas saja, tetapi secara universal. Mereka yang mengidentifikasi diri sebagai heteroseksual juga dapat bergabun dan berdiskusi tentang hal ini. Topik-topik seperti perbedaan selaput dara dan keperawanan. Bagaiman bentuk vulva setiap wanita berbeda-beda, dan hal edukatif lain yang selama ini dianggap tabu oleh masyarakat, menjadi hal yang menjadi konsentrasi SGRC Indonsia.

Mulanya, organisasi mahasiswa ini berangkat dengan nama SGRC UI. Logo SGRC pun sebelumnya menampilkan logo UI. Namun setelah hantaman keras yang mereka terima dari media pada pertengahan 2016 lalu, pihak UI meminta SGRC untuk berhenti menggunakan nama dan logo UI. Padahal sebelumnya, kegiatan-kegiatan yang diajukan SGRC selalu disetujui pihak UI.

“Mungkin UI juga terpaksa minta nama dan logonya dihilangkan. Pasti ada tekanan dari luar juga. Mahasiswa yang tergabung juga kena masalah, orangtua pada protes, pokoknya semuanya kacau waktu itu.” Jelas Riska Carolina, selaku salah satu perwakilan dari ketua SGRC yang kini lulus dan bekerja di bidang human right research.

Riska menyebutkan, sebelum kejadian tahun 2016, anggota SGRC kurang lebih mencapai 350 orang. Selanjutnya, anggota SGRC mengalami penurunan drastis, hingga akhirnya tersusa sejutar 80 orang. Bahkan dalam jumlah yang menurun tersebut, SGRC lebih didominasi alumni UI. Mahasiswa seolah enggan untuk ikut serta dalam organisasi ini. Beberapa mengundurkan diri memberi alasan mendapatkan ancaman dari orangtuanya sendiri.

“SGRC jadi lekat sama kata-kata LGBT, padahal kajian kita kan bukan itu doang. Tapi masyarakat sekitar tetap lihatnya kita sebagai komunitas LGBT. Sampai-sampai ada yang ngomong kita ini komunitas buat cari jodoh sesama LGBT. Gue secara pribadi tersinggung sih.” Ujar Riska.

SGRC sendiri memilik misi, salah satunya adalah menciptakan lingkungan yang aman dan bebas diskriminasi bagi mereka dengan SOGIE ( Sexual Orientation, Gender Identity, Gender Expression) yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya, yang terjadi justru berujung kontras. Mereka yang tergabung dengan SGRC harus menerima pandangan negatif dari lingkungannya, bahkan ada pula yang diusir dari rumahnya sendiri hanya karena tergabung dalam organisasi tersebut.

Riska sendiri mengalami hal tersebut. Dalam masa perkuliahan, ada segelintir dosen yang menyinggung masalah SGRC di depan kelas. Ada pula teman-teman yang terkesan menjauh. Bisikan dan cemoohan sudah menjadi santapan sehari-hari.

Co-Founder SGRC, Nadya Karima Melati sempat mengajukan hak jawab terhadap media yang merilis artikel berbau negatif tentang SGRC. Namun menurut Riska, tidak ditanggapi dengan serius. Meski artikel-artikel tersebut sudah dihapus, dampak negatif terhadap SGRC masih terasa.

Saat ini, SGRC masih mengadakan acara-acara kecil yang terbuka untuk umum. Namun dalam keanggotaannya, masih dibatasi untuk mahasiswa dan alumni UI. SGRC bersedia menjadi afiliasi bagi universitas lain seperti, Universitas Padjajaran Bandung, Universitas Diponegoro Semarang, dan Universitas Airlangga Surabaya.


Afkar Aristoteles Mukhaer
Alif Angga Putra P
Anggie  Angela
Rizky Nur Rachman

You May Also Like

0 komentar