Featured

BEACH CAMP MENANTANG MAUT DI MALANG

by - Januari 31, 2018


Hallo guys. di post kali ini saya bercerita tentang perjalanan saya di Jantung Jawa Timur, atau bahasa Inggrisnya "The Heart of East Java" yakni Malang.

Perjalanan saya diawali pada tanggal 23 Januari sore, untuk menaiki kereta Matarmaja dari Stasiun Pasar Senen ke Stasiun Malang, dengan harga kisaran Rp109.000 saja. Umumnya kereta ini biasanya ditumpangi dengan mereka yang ingin mendaki ke Semeru dari Jakarta.

Sebelum menaiki kereta, sengaja saya unduh Peta Offline Google Maps (dengan cara yang saya jelaskan di MENGGUNAKAN GOOGLE MAPS TANPA KUOTA ) agar jaga-jaga jika menyasar di Malang. Saya mengunduh dengan menggunakan WiFi kampus sesaat sebelumnya menghadiri acara sidang magang senior di UMN TV.

***
HARI KE-1

Saya sampai di Malang pada tanggal 24 Januari, langsung dijemput dengan teman sedari kecil saya, Ghina. Kebetulan ia berkuliah di Malang, jadi saya menghabiskan waktu di Malang bersamanya. Ia menyewa sepeda motor untuk kami gunakan keliling Malang. Motor yang kami sewa seharga Rp50.000/hari, namun itu adalah harga penyewaan motor untuk mahasiswa di Malang, sehingga untuk menyewa motor di penyewaan motor mahasiswa kamu harus memiliki KTM (Kartu Tanda Mahasiswa) Malang. Usai penjemputan, kami bertolak menuju penginapan di daerah Songgoriti, Batu. Penginapan kami sangat murah, per malamnya seharga Rp80.000. Namanya adalah Villa Dariz. Kamu bisa kok kesini, cukup mengontak orangnya di nomer +6282332406406.


Siang harinya, kami berangkat ke Pantai Mbehi. Perjalanan ini terhitung ngaret, karena memperpanjang penyewaan motor, mempersiapkan barang apa saja, dan saya ketiduran karena kelelahan perjalanan panjang di kereta.

Perjalanan ke sana memakan waktu 3 jam perjalanan. Sebenarnya di Peta Offline tertulis 2 jam. Tetapi percayalah, Google Maps tak pernah menceritakan seberapa parah jalanan yang ada. Saat sudah mendekati jalan kecil menuju pantai, jalanannya rusak parah, bebatuan dan licin. Walaupun begitu, setelah sampai di lokasi, pemandangan sore hari jadi indah dan sepi (karena kami datang saat bukan musim libur).

Kedatangan kami ke pantai Mbehi juga hanya sebentar. Karena pada awalnya kami hanya berencana untuk sekedar berenang ke lokasi. Kami memutuskan kembali ke Batu sebelum matahari terbenam.


***
HARI KE-2

Saat di Batu, kami mencicipi makanan kaki lima khas Malang dan Batu. Salah satu makanan khas Batu yang melegenda karena sudah lama berdiri dan nikmatnya terkenal di lidah masyarakat adalah Pos Ketan.
Pos Ketan ini berdiri sejak tahun 1960, dengan sajiannya khasnya yakni memakan ketan dengan topping. Terdapat berbagai menu dengan ketan yang disajikan, seperti Ketan Meses Keju, Ketan Susu Kacang, Ketan Ayam Pedas, Ketan Pancake Durian dan lainnya.

Kata Ghina, inilah makan khas anak muda yang sering nongkrong di alun-alun kota Batu. Lebih pas lagi, makanan ini pada malam hari dan memang harganya pas untuk kantong mahasiswa atau pelancong yang sedang menghemat keuangannya.

Selain Ketan Pos, jajanan khas Malang yang kami temui adalah Sempol. Jajanan ini terbuat dari campuran daging ayam cincang, dan terigu dalam satu adonan. Saat saya menyicipnya, terasa kenyal dan hampir mirip dengan tempura. Cara disajikannya punditusuk seperti sate dengan ditambahkan bumbu yang mirip cilok.

Harga Sempol pada umumnya ada Rp500/tusuk, namun beberapa pedagang yang berbeda lokasi bisa saja memberikan harga yang berbeda. Sempol yang kami cicipi ini berada dekat dengan Ketan Pos dan di parkiran motor alun-alun Batu.

Jadi untuk berjalan-jalan di sekitar Malang dan Batu, tidak usah merogoh kocek terlalu banyak untuk makan. Jika masih bingung untuk makan apa di Malang, terdapat angkringan di pinggir jalan yang mudah kamu temukan di malam hari.

***
HARI KE-3 & 4

Rasanya tidak puas sekali jika hanya menikmati pantai di Malang yang indah hanya sebentar. Saya memutuskan untuk berkemah di pantai Gua Cina bersama Ghina. Berdasarkan saran seseorang yang saya temui di kereta saat menuju Malang, disarankan untuk pergi dan berkemah di sana.

Seperti perjalanan pada umumnya ke pantai selatan Malang, 3 jam estimasi perjalanan ke lokasi tersebut. Perjalanan menuju lokasi dipenuhi dengan hutan yang rindang kiri-kanan yang gelap karena waktu menuju malam. Hujan juga tidak mau kalah, menyerang kami di dalam kegelapan hutan yang membuat saya menggigil, beruntungnya di motor yang kami sewa tersedia mantel hujan lebar.

Pukul setengah 7 malam kami tiba di pantai Goa Cina dengan basah kuyup. Harga masuk ke pantai ini sebesar Rp10.000/orang. Perlu diketahui, pantai ini sangat gelap di malam hari, disebabkan sedikitnya pasokan listrik yang tersedia di kawasan ini. Beberapa warung dan sebuah vila yang malam hari menyala hanya menggunakan generator listrik.

Rencananya kami mendirikan tenda di pinggir pantai, namun karena hujan dan angin kencang yang bahkan mampu menumbangkan suatu pohon di depan warung tempat kemi berteduh, pemilik warung tersebut menyarankan kami untuk mendirikan tenda di dalam pendopo saja. Letak pendopo itu tidak terlalu sempit untuk dipasangkan tenda, dan aman dari terpaan badai yang bisa saja menyerang kapan saja.

Pada tengah malam, benar saja ada badai kencang. Kami terbangun dari lelap kami di dalam tenda. Meskipun letak tenda aman di dalam pendopo, angin terlalu kencang hingga terasa anginnya di dalam tenda dan menggigilkan kami. Ghina dengan telatennya mengatur posisi barang-barang supaya menutup pintu masuk angin ke tenda, hingga akhirnya kami bisa tenang terlelap walau angin kencang mengeluarkan suara-suara menyeramkan.


Pagi harinya, kami terbangun dengan pemandangan indah pantai. Seperti lagu mendiang Chrisye, 'Badai Pasti Berlalu', suasana yang semalam suram akan pantai Goa Cina ini berubah menjadi pemandangan yang indah. Karang-karang menjulang, kepulauan karang kecil dengan sombongnya menampakkan diri di pagi hari, ombak pun degan rayu melambainya menggulung. Sayangnya pantai ini tidak boleh direnangi, sebab rawan batu karang yang tersebar di mana-mana.



Kami juga bertemu satu rombongan yang kemah di sini. Awalnya kami kira hanya kami saja yang berkemah di tempat ini, mengingat kami kemari bukan pada musim liburan. Rombongan dari Jakarta ini memasang tenda di dekat bibir pantai, tentunya mereka mengatakan tenda mereka roboh semalam dan menjadi selimut selama badai berlalu. Sungguh amat malang.

Lalu kami jalan-jalan sekitar bibir pantai Goa Cina ini. Gapura di dekat pendopo yang kami pasangi tenda, bergaya Tiongkok. Selain itu, dupa juga menjadi lumrah di pasang di dekat bukit yang terdapat guanya.

Ghina mengatakan pemandangan pantai Goa Cina ini seharusnya indah dan bersih, terutama saat bukan musim libur seperti ini. Namun berhubung semalam badai yang sangat menyeramkan, sampah-sampah dan barang-barang yang terbawa oleh ombak, berjejer di garis pantai, membuat terlihat begitu kotor.

Mungkin perjalanan saya kali ini tidak begitu indah, tetapi perjalanan ini akhirnya membuat saya mengerti bahwa tak selamanya rencana liburan tidak selalu indah. Bagi kamu yang penasaran dengan keindahan Malang dan pantai-pantainya, di sarankan secepatnya pada musim kemarau dan bukan musim libur ya.



You May Also Like

0 komentar